“Memang tuna rungu bisa berkomunikasi?”
Komentar ini sangat mengejutkan bagi saya karena diucapkan oleh seorang jurnalis yang mewawancarai saya saat melamar kerja beberapa waktu lalu. Beliau mempertanyakan skripsi saya yang mengangkat komunikasi tuna rungu di media sosial.
Ternyata, orang intelek dan berkecimpung di dunia komunikasi pun, masih menganggap bahasa oral adalah satu-satunya cara berkomunikasi. Padahal, kita mengenal tanda, lambang, gesture, dan lain sebagainya.
Beliau bukan satu-satunya orang yang mempertanyakan skripsi saya. Karena sebelumnya, seorang dosen juga bertanya apakah saya bisa berkomunikasi dengan tuna rungu, jika saya mengangkat komunitas mereka sebagai skripsi saya terkait dengan penggunaan media sosial.
Sebelum saya mengangkat skripsi tersebut, saya sempat bertanya kepada teman-teman. Apa yang ada pertama terlintas dipikiran mereka saat saya menyebut “tuna rungu.” Tanpa ragu, mereka menjawab tuna rungu sebagai “orang cacat.”
Adik saya sendiri adalah mahasiswa kesejahteraan sosial. Dia pun menjawab “cacat” saat saya menanyakan apa yang dia ketahui tentang tuna rungu. Padahal kelompok ini menurut adik saya, merupakan salah satu kajian dari perkuliahan kesejahteraan sosial.
Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Wah, ya sama saja awalnya. Saya menganggap orang dengan kemampuan berbeda seperti teman-teman tuna rungu adalah penyandang cacat. Seperti yang saya baca di buku-buku dan yang diajarkan di sekolah dulu. Tuna rungu, tuna grahita, tuna netra adalah penyandang cacat bagi saya.
Sampai tiba-tiba secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan tema tuna rungu sebagai skripsi saya. Ya, skripsi saya ibarat jalan Tuhan yang membuka mata saya mengenai komunitas orang-orang yang ternyata sangat luar biasa di mata saya.
Pertemuan Dengan Tuna Rungu
Suatu hari, saya mencari tema yang berhubungan dengan media sosial dan Facebook. Tanpa sengaja, saya masuk ke forum Kaskus di mana ada sebuah thread yang menyerukan para Kaskuser untuk berteman dengan teman-teman yang memiliki nama belakang Deaf and Dumb. Deaf atau orang-orang yang mengalami kesulitan pendengaran banyak menjadi anggota Facebook dan bersedia untuk berteman dengan siapa saja. Saya pun mengajak mereka berteman dan mengobrol. Satu-per satu teman-teman deaf di facebook saya bertambah dan saya terhubung dengan mereka yang aktif di organisasi tuna rungu.
Saya berkenalan dengan mereka selama beberapa bulan hingga akhirnya memutuskan mengangkat penggunaan media sosial oleh tuna rungu. Di sinilah saya terbuka mengenai komunitas difabel tersebut. Melalui Facebook, saya berkomunikasi dengan lancar hingga akhirnya bertatap muka dan menjalin hubungan baik hingga sekarang.
Dari berbagai obrolan dengan teman-teman deaf, saya mendapat banyak pelajaran berharga mengenai perjuangan hidup dan bagaimana mereka bertahan ditengah-tengah masyarakat yang masih memandang negatif dan membedakan mereka. Pertemanan di dunia maya tersebut, berubah menjadi pertemanan di dunia nyata. Dan kini, saya menganggap mereka sama saja dengan saya dan masyarakat pada umumnya.
Suatu hari, saya mencari tema yang berhubungan dengan media sosial dan Facebook. Tanpa sengaja, saya masuk ke forum Kaskus di mana ada sebuah thread yang menyerukan para Kaskuser untuk berteman dengan teman-teman yang memiliki nama belakang Deaf and Dumb. Deaf atau orang-orang yang mengalami kesulitan pendengaran banyak menjadi anggota Facebook dan bersedia untuk berteman dengan siapa saja. Saya pun mengajak mereka berteman dan mengobrol. Satu-per satu teman-teman deaf di facebook saya bertambah dan saya terhubung dengan mereka yang aktif di organisasi tuna rungu.
Saya berkenalan dengan mereka selama beberapa bulan hingga akhirnya memutuskan mengangkat penggunaan media sosial oleh tuna rungu. Di sinilah saya terbuka mengenai komunitas difabel tersebut. Melalui Facebook, saya berkomunikasi dengan lancar hingga akhirnya bertatap muka dan menjalin hubungan baik hingga sekarang.
Dari berbagai obrolan dengan teman-teman deaf, saya mendapat banyak pelajaran berharga mengenai perjuangan hidup dan bagaimana mereka bertahan ditengah-tengah masyarakat yang masih memandang negatif dan membedakan mereka. Pertemanan di dunia maya tersebut, berubah menjadi pertemanan di dunia nyata. Dan kini, saya menganggap mereka sama saja dengan saya dan masyarakat pada umumnya.
Cacat, tidak normal, butuh pertolongan, anggapan ini yang ada di masyarakat mengenai komunitas difabel. Bahkan, seorang teman deaf (saya memilih menyebut teman-teman tuna rungu dengan sebutan deaf) pernah berujar pada saya. “Apa itu tuna rungu? Ikan tuna? Tuna susila? Negatif banget kan konotasinya?” Komentarnya membuat saya tersadar dan bertanya dengan polosnya, “Lalu saya harus menyebut apa?”
Teman ini menjawab bahwa saya harus membaca dan mencari tahu lebih dalam mengenai komunitas mereka, serta terjun langsung bersama-sama dengan komunitas difabel ini dan saya akan menemukan jawabannya.
Bagi saya pribadi, jawaban yang saya temukan adalah perubahan mindset. Ternyata mereka bukan cacat, mereka bukan tidak mampu. Mereka memang mempunyai perbedaan dalam pendengaran. Tetapi secara intelejensia, mereka sama halnya dengan saya dan masyarakat lainnya. Bahkan usaha dan motivasi mereka dalam menjalankan suatu kegiatan, saya akui, jauh melebihi saya dan masyarakat pada umumnya.
Jika ada yang menyebut mereka tidak normal, lalu apa itu normal? Siapa yang normal? Apakah tidak normal adalah sebutan untuk kelompok minoritas? Lalu bagaimana jika saya berada sendirian diperkumpulan deaf? Sayalah minoritas. Maka sayalah yang tidak normal bukan?
Pemikiran tersebut membawa saya untuk memanggil komunitas mereka dengan sebutan deaf. Mungkin penggunaan istilah ini terkesan eufemisme atau penghalusan. Tapi percayalah, penyebutan ini saya gunakan setelah saya berteman baik dengan mereka dan lebih memahami mereka.
Perdebatan Istilah
Perdebatan istilah penyebutan mereka dengan kemampuan berbeda sudah lama muncul. Kini, istilah penyandang cacat sedang diperjuangkan untuk tidak lagi. Cacat dalam kamus bahasa Indonesia memiliki beberapa arti di antaranya kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna, cela, aib. Wow, pantaskah istilah ini diberikan pada mereka? Tentu tidak.
Bahrul Fuad, seorang aktivis kelompok difabel melalui tulisannya dalam Jurnal Perempuan 65, Mencari Ruang Untuk Difabel menyebutkan bahwa sejak tahun 1998 diperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat, yakni difabel. Difabel ini merupakan singkatan dari bahasa Inggris Different Ability People yang berarti orang yang berbeda kemampuan (2010: 21).
Bahrul Fuad dalam buku tersebut juga menyatakan bahwa istilah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan pengaruh psikologis yang cukup signifikan bukan hanya terhadap penyandang istilah tersebut namun juga terhadap sikap dan perilaku masyarakat.
Akan tetapi, saya tidak setuju dengan Bahrul Fuad yang menyatakan istilah tersebut hanya penghalusan dan tidak memberikan perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Menurut saya, istilah merupakan bagian dari bahasa. Dan bahasa adalah alat yang paling berbahaya untuk mempengaruhi seseorang. Yes, languange is the most dangerous weapon. Oleh karena itu, tidak peduli apakah istilah difabel adalah eufimisme, namun tujuan penggunaan istilah difabel adalah mengubah pola pikir masyarakat agart tidak memandang orang-orang dengan kemampuan berbeda tersebut sebagai orang cacat dan tidak normal seperti yang diajarkan semasa saya sekolah dulu. Perubahan mindset ini bisa diawali dengan perubahan bahasa.
Dampak Pandangan Masyarakat yang Salah
Pandangan masyarakat yang selama ini salah mengenai difabel menimbulkan banyak kesulitan bagi mereka. Mereka menjadi dibedakan dan tidak diberikan tempat, karena dianggap tidak mampu bekerja seperti masyarakat pada umumnya.
Mereka kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat, kesulitan mencari pekerjaan, dan bahkan seringkali dipandang aneh di tempat-tempat umum. Pada akhirnya mereka terkucilkan dari pergaulan. Hidup mereka yang pun menjadi semakin berat.
Seorang teman deaf peraih beasiswa pernah berujar kepada saya, bahwa test TOEFL yang mengharuskan adanya listening mempersulit dirinya untuk mendapat beasiswa. Padahal ia mampu dan fasih berbicara dengan bahasa Inggris. Ia hampir gagal mendapatkan beasiswa, jika tidak karena usahanya yang luar biasa untuk meyakinkan para pemberi beasiswa. Test TOEFL sebagai salah satu syarat mendapatkan pendidikan layak ternyata menjadi diskriminasi.
Teman-teman difabel yang lain juga kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tidak jarang kita melihat persyaratan wajib sehat jasmani di lowongan-lowongan pekerjaan. Persyaratan itu, otomatis langsung mengeliminasi mereka. Oleh sebab itu dengan intelejensia yang mereka miliki, dan usaha keras, mereka mulai menekuni bidang-bidang yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja wiraswasta seperti seni kerjainan tangan, desain, menulis. Hasilnya, mereka dapat berkreasi layaknya masyarakat pada umumnya. Inilah bukti bahwa mereka tidak berbeda dengan kita. Beberapa teman deaf yang saya kenal menekuni usaha maklon, souvenir, pembuatan pernak-pernik dan perhiasan, serta menulis dan membuat buku.
Salahnya Karena Tidak Tahu
Pandangan masyarakat yang berdampak buruk bagi difabel sebenarnya bukan semata salah masyarakat itu sendiri. Saya adalah contoh yang paling mudah. Saya beranggapan salah karena saya tidak tahu. Ya, tidak tahu adalah awal dari kesalahan pandangan masyarakat akan kelompok difabel. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengangkat isu-isu difabel ke dalam masyarakat agar masyarakat mengetahui bagaimana sebenarnya para difabel.
Sayangnya, tidak banyak isu-isu mengenai difabel yang diangkat di media massa. Padahal, setiap hari kita dijejali media massa dengan berbagai isu politik yang memusingkan kepala dan banyak yang tidak ada gunanya. Mengapa tidak mengangkat isu difabel lebih besar? Ah, tanyalah kepada rating, agenda media, kepentingan, dan segala sesuatu yang berbau kekuasaan.
Nah, jika media massa sulit diharapkan, maka kemunculan media baru seharusnya menjadi angin segar untuk mengangkat isu-isu mengenai difabel. Ketika internet menjamur dan konsumsi media sosial sangat tinggi, maka media sosial bisa menjadi sarana tepat untuk menyampaikan isu-isu difabel kepada masyarakat. Mengapa? Tentu saja karena internet, media baru atau apapun itu sebutannya membuat pada difabel memiliki kesetaraan dengan orang lain pada umumnya.
Dalam skripsi saya hasil yang saya temukan adalah bahwa teman-teman deaf lebih senang menggunakan media sosial untuk berinteraksi, karena mereka merasa sama dengan orang lainnya. Mereka tidak dibedakan dan dapat berhubungan tanpa harus ada kendala suara. Orang lain pun menerima mereka dengan baik di media sosial. Artinya, saya dan masyarakat pada umumnya dapat menjalin hubungan baik dengan difabel dengan perantara media sosial, untuk meningkatkan kemelekan terhadap isu-isu disabilitas.
Kartunet sebuah situs yang dibuat oleh teman-teman tuna netra membuat terobosan untuk mengedepankan isu-isu difabel di sosial media. Kartunet adalah singkatan dari Karya Tuna Netra, mempunyai visi dan misi mengembangkan potensi para difabel, memberikan tempat untuk berkarya serta membuka kerja sama dengan berbagai pihak untuk memajukan penyandang disabilitas.
Situs seperti Kartunet.com sangat jarang di Indonesia. Oleh karena itu diharpakan Kartunet dapat menjadi media informasi terdepan bagi para difabel untuk berkreasi dan berkumpul, namun juga merangkul masyarakat umum. Mudah-mudahan Kartunet dapat menjadi jembatan antara para difabel dengan masyarakat agar gap atau jarak yang tercipta selama ini karena adanya “ketidaktahuan” dapat diperkecil. Sehingga antara difabel dan masyarakat dapat terjalin kerjasama yang baik dalam berbagai bidang seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Pengetahuan yang diberikan kepada masyarakat luas melalui Kartunet nantinya pelan-pelan dapat mengubah pandangan masyarakat mengenai komunitas difabel. Jika pandangan saya bisa berubah maka pandangan praktisi, akademisi, bahkan masyarakat umum juga bisa berubah. Syaratanya, mereka tahu dan mereka paham. Kartunet dapat menjadi media difabel untuk memberi tahu dan memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat.