Selasa, 11 Mei 2010

Masalah Sosial di Bojong Gede

Setelah 4 tahun lamanya tinggal di tempat kos, akhirnya saya kembali lagi ke rumah orang tua saya di Bojong Gede, Bogor.

Menurut saya, Bojong Gede masih wilayah pinggiran Jakarta. Wong, nomor telpon rumah saya aja masih (021). Tetapi karena masuk wilayah Bogor, membuat Bojong Gede memiliki budaya campuran Betawi dan Sunda.

Sayangnya meski jaraknya Cuma 1 jam dari Jakarta, namun Bojong Gede banyak sekali ketertinggalannya. Terutama masalah kesejahteraan dan juga pendidikan. Nah berikut urutan masalah-masalah sosial yang terjadi di wilayah tempat tinggal saya, berdasarkan pengamatan.

1.Kemiskinan. Tingkat kesejahteraan masyarakat Bojong Gede umumnya masih rendah. Jika ada orang yang berkecukupan, mereka adalah warga asli yang masih memiliki banyak tanah, atau para pendatang yang umumnya tinggal di komplek-komplek perumahan. Tingkat kemiskinan di Bojong Gede sangat tinggi, karena di daerah kecil seperti ini tidak mudah mencari pekerjaan. Potensi usaha pun kurang menjanjikan. Kalau pun bekerja, upahnya tidak seberapa.

2.Pendidikan rendah. Sebagian besar masyarakat di sekeliling saya tidak mengenyam pendidikan lebih dari Sekolah Menengah Atas. Bahkan masuk SMP saja sudah bagus. Pendidikan tidak menjadi perhatian utama, karena mereka sudah harus berjuang untuk mencari sesuap nasi. Konyolnya, anak-anak yang masih sekolah juga tidak mengerti bahwa mereka harus menjadi siswa pintar agar bisa bermanfaat dikemudian hari. Sekolah seakan hanya menjadi ritual. Biar afdol, kata mereka. Maka saat anak-anak itu memutuskan ingin berhenti sekolah, orang tuanya mendukung, dengan alasan tidak punya biaya.

3.Pengangguran. Angka pengangguran di sini cukup besar. Baik orang tua maupun anak muda usia produktif tidak bekerja. Mencari pekerjaan itu sulit kata mereka. Inilah akibat tidak terpenuhinya pendidikan yang menjadi modal untuk bekerja. Kreativitas mereka pun juga tidak ada. Misalnya, kerjaan Si A adalah tukang bangunan. Namun saat ini sedang tidak ada borongan. Maka dia hanya duduk di rumah. Padahal masih banyak yang bisa dilakukan. Contohnya berjualan jus seperti yang saya lakukan waktu SMA. Toh, sebulan penghasilannn saya mencapi 500 ribu. Itupun dengan modal awal 50 ribu. Akibatnya, banyak yang cuma nongkrong di depan rumah atau duduk-duduk dipinggir jalan dan di pinggir kereta.

4.Pemalas. Rata-rata masyarakat di Bojong Gede adalah penduduk asli yang punya tanah. Karena punya tanah itu, mereka berleha-leha. Kemudian satu-persatu kaplingan tanahpun mereka jual. Lama kelamaan tanah mereka pun habis. Mereka juga mengandalkan pada harta warisan. Akibatnya, saat harta habis, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka terbiasa dengan kemudahan. Tetapi kini jaman berubah, maka nasib mereka pun berubah.

5.Berhutang. Masyarakat disini yang tidak mampu baik penduduk asli maupun pendatang, seringkali berhutang. Suatu hal yang wajar, karena mereka tidak bekerja. Kalaupun bekerja, gaji mereka per bulan tidak lebih dari Rp 500.000. Tapi sampai kapan terus berhutang? Karena sebagian besar tidak bisa mengembalikan.

6.Suka pesta. Bukan hanya masyarakat kota metropolitan saja yang doyan pesta. Masyarakat disini senang kemeriahan. Meski tidak punya uang, mereka akan mencari segala cara untuk bisa merayakan pernikahan, sunatan, ulang tahun, dan lain sebagainya. Padahal uang untuk makan sehari-hari saja tidak ada. Pola pikir mereka, dengan menyelenggarakan pesta maka nama mereka akan harum dan para tetangga tidak akan bergunjing. Dampaknya, hutang berkembang dimana-mana.

7.Mabuk. Tidak hanya anak-anak muda, orang tua disini banyak yang suka mabuk. Meski tidak kerja, mereka memilih mabuk-mabukan untuk melupakan masalah, atau sebagai ajang pergaulan. Yang tua memberi contoh yang buruk, dan generasi mudanya rusak.

8.Pencurian. Disini sering terjadi pencurian. Hati-hati dengan benda yang diletakkan diluar, karena tidak akan aman. Tempat jemur pakaian saja bisa dicuri. Rumah saya pun pernah kemalingan sebuah TV. Padahal waktu itu kami semua sedang ada di rumah.

9.Klenik. Masyarakat asli disini sangat disayangkan, menyukai hal-hal berbau klenik, santet, dan kawan-kawannya. Santet-menyantet itu adalah hal yang biasa. Untuk membuka usaha di wilayah Bojong Gede tidak hanya harus bersaing dengan sesama pengusaha di bidang yang sama. Tetapi juga bersaing dengan ilmu-ilmu hitam. Bahkan, etnis Tionghoa tidak diperbolehkan membuka usaha di wilayah ini. Coba saja silahkan cari pedagang Tionghoa di Bojong Gede, Anda tidak akan menemukannya.

10.Senang ribut. Segala masalah sering diselesaikan dengan keributan baik secara verbal maupun tindakan. Saling memaki adalah hal yang biasa saya dengar. Jika ada satu masalah, maka seluruh keluarga akan turun tangan membela mulai dari memaki, memukul, atau mengancam untuk membunuh.

11.KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini seperti lumrah terjadi. Pernah yang paling parah dan saya saksikan sendiri adalah ketika tetangga di depan rumah saya, dipukul dengan bambu panjang oleh Sang suami. Kemudian dibenturkan ke tembok, di pukul lagi dengan tas besar berisi pakaian, lalu dipukul lagi dengan menggunakan sepatu kerja. Gila!

12.MBA. Married By Accident menjadi hal yang biasa. Remaja disini yang usianya bahkan dibawah saya, sudah memiliki anak hasil hubungan di luar nikah. Di RT saya contohnya. Tidak kurang dari 10 orang remaja yang hamil atau menghamili di luar nikah. Saat putus sekolah, mereka kemudian hanya duduk di rumah serta bermain kesana-kemari. Dandan, kemudian nongkrong di keramaian, pada acara dangdutan misalnya. Kemudian kenalan dengan lawan jenis, lalu pacaran. Berduaan di kebun malam, malam, atau di pinggir rel kereta yang tidak terlihat orang adalah pemandangan yang bisa ditemukan di hampir setiap sudut wilayah Bojong Gede.

13.Gossip. Memang gosip itu ada dimana-mana. Tidak terkecuali di Bojong Gede. Menggosipkan orang, memfitnaah, juga hal yang biasa. Kalau kuping tidak tebal, maka bisa emosi jiwa.

14.Ikut campur masalah orang. Nah, ini juga budaya yang salah. Mencampuri urusan orang lain adalah hal yang sulit saya terima. Saya mau menikah tidak dirayakan toh bukan urusan mereka. Tetapi mereka mengatakan bahwa adat disini, pernikahan harus dilaksanakan 2 kali jika memilih menikah di gedung. Oalah...

Saya percaya, nasib itu ada ditangan manusia itu sendiri. Apa yang kita dapat dan kita capai sekarang adalah berkat usaha kita dan pilihan kita. Apakah kita mau memilih maju dengan membuka diri kepada pengetahuan dan budaya? Atau mau terkungkung dengan budaya yang salah dengan imbas berbagai masalah sosial seperti yang terjadi di atas. Transformasi budaya dengan poin utama perubahan pola pikir (mind set), adalah hal pertama yang harus dilakukan.

Namun, bisakah tanpa pendidikan? Inti semua masalah ini adalah pada pengetahuan dan pendidikan. Maka selayaknya kita harus terus meningkatkan pendidikan. Pemerintah pun harusnya menerapkan sistem pendidikan adil yang pro rakyat kecil. Namun dengan korporatisasi pendidikan oleh pemerintah saat ini, kecil kemungkinan masalah sosial, tidak hanya di Bojong Gede, tetapi di Indonesia dapat diselesaikan.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah.. harusnya dulu penelitian PPIK aku di kampung kita ini aja ya? narasumbernya kamu :)

eno mengatakan...

wakkaka....Kalo mau liat masalah sosial gak usah jauh-jauh...Di kampung kita ini buanyak buanget!

Anonim mengatakan...

Eno, pertanian di bojonggede gmana? dh maju? kyknya ini bisa mengatasi masalah dsana. tanam bunga, buah2an,apotik herbal maupun industri pertaniannya..

andomilagros@blogspot.com mengatakan...

Semoga Bojonggede semakin maju ya. Saya Pendatang Baru di Bojonggede.

andomilagros@blogspot.com mengatakan...

Semoga Bojonggede semakin maju ya. Saya Pendatang Baru di Bojonggede.

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG