Minggu, 02 Mei 2010

Organiponico: Belajar dari Kuba


Sebagian besar orang di dunia bergantung pada minyak bumi. Minyak bumi dianggap bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Minyak bumi adalah emas. Oleh karena itu segala usaha dilakukan untuk mendapatkan minyak bumi mulai dari ketergatungan kepada impor dari negara lain, hingga perang untuk menaklukan wilayah.

Minyak bumi adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, yang suatu masa nanti akan habis dikonsumsi. Apabila manusia terus saja menggantungkan hidupnya pada bahan bakar minyak dari minyak bumi, maka bencana besar akan datang. Contoh negara yang telah mengalami krisis ekonomi akibat kekurangan bahan bakar minyak adalah Kuba. Kuba merupakan negara pertama yang menghadapi krisis akibat kehilangan pasokan minyak sejak kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1990. Tanpa Uni Soviet, Kuba kehilangan lebih dari 50% impor minyak yang berdampak besar pada seluruh aspek kehidupan yang disebut dengan masa Periode Khusus.

Organipónico de Alamar, sebuah film dokumenter menjadi gambaran bagaimana Kuba terkena dampak krisis minyak dan bagaimana dunia nanti akan kehabisan pasokan minyak. Para ilmuan juga memprediksi tahun 2010 ini dunia akan mencapai produksi maksimal minyak yang disebut dengan Peak Oil. Setelah itu produksi minyak bumi akan hilang. Kekuatan komunitas Kuba yang bahu membahu untuk mengatasi krisis dengan cara menggerakan komunitas untuk saling membantu dan bercocok tanam secara organik , mampu menyelamatkan seluruh masyarakatnya dari bencana.

Pada tahun awal krisis, pemerintah Kuba melaksanakan Revolusi Hijau untuk mengatasi kekurangan pangan dan minyak. Revolusi Hijau ini adalah suatu sistem yang menggunakan bahan bakar minyak dalam bentuk gas alam seperti pestisida, dan solar untuk bahan bakar traktor dalam skala besar. Namun sistem ini tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan dasar anggota masyarakat karena berorientasi pada perkebunan dan ekonomi terbuka. Kuba mengekspor jeruk, tembakau, tebu tetapi justru mengimpor kebutuhan dasar seperti beras sebesar 55%, juga minyak nabati lebih dari 50%. Penggunaan pestisida dan solar pun justru merusak alam dan menimbulkan pengeluaran biaya yang lebih besar untuk memperbaiki tanah yang rusak karena mikroorganismenya mati akibat karbonmonoksida dari traktor. Tanaman yang dihasilkan juga tidak baik untuk kesehatan karena kandungan pestisida yang sangat tinggi. Oleh karena itu, revolusi hijau ini tidak akan pernah memenuhi kebutuhan masyarakat Kuba.

Oleh karena itu manusia harus mengikuti irama alam sehingga dapat mengambil manfaat darinya, bukan dengan bekerja melawan alam. Dengan bekerja melawan alam, manusia akan menghancurkan banyak energi. Kesadaran masyakat Kuba akan hal ini diwujudkan lewat penggantiani mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar minyak, dengan sapi untuk membajak tanah. Mereka menumbuhkan perstisida alami, penyubur tanah alami sebagai pengganti pupuk kimia dan menciptakan pertanian organik. Trial dan eror terus dilakukan masyarakat Kuba, hingga kedatangan beberapa ahli permakultur dari Australia sejak tahun 1993 untuk mengajarkan permakultur yakni suatu sistem yang dibangun berdasarkan pertanian berkelanjutan yang jauh lebih sedikit mengkonsumsi energi. Bersama-sama dalam komunitas, masyarakat Kuba bahu membahu untuk mengembangkan pertanian.

Sektor pendidikan dan kesehatan tidak luput terkena imbas perekonomian, tetapi hebatnya pemerintah Kuba menggratiskan pendidikan dan kesehatan karena pemerintah sadar bahwa pendidikan dan kesehatan adalah modal untama manusia untuk dapat bertahan dan berkarnya. Pendidikan di Kuba menghasilkan banyak tenaga kesehatan yang dikirim ke luar negeri seperti Venezuela. Venezuela menukarnya dengna membuka impor minyak ke Kuba.

Krisis minyak juga membuka diri masyarakat Kuba untuk mencari sumber energi alternatif dengan menciptakan dan mendayagunakan eneri terbarukan. Organisasi Ecosol Solar dan Cuba Solar membantu mengembangkan pasar konsumsi energi terbarukan, menjual dan merakit sistemnya, melakukan penelitian, mempublikasikan berita informatif, serta melakukan studi tentang efisiensi bagi penggunaan energi dalam sekala besar. Sektor transportasi dan perumahan memang masih terkendala karena dua sektor inilah yang memerlukan lebih banyak bahan bakar. Namun solusi muncul dengan pendekatan inventif, tiap kendaraan besar maupun kecil digunakan untuk membangun sistem sarana trasportasi masal. Sepeda kayuh dan sepeda motor juga didayagunakan menjadi becak. Semua kendaraan bermotor yang ada didayagunakan untuk mengangkut orang-orang di jalan yang hendak berpergian. pemerintah juga mendatangkan jutaan sepeda dari cina yang menjadi transportasi utama di Kuba.


Masyarakat Kuba saling bahu membahu satu orang dengan yang lain. Tidak ada pinjaman atau hutang kepada IMF seperti negara lain. Mereka tidak mengalami ekspansi ideologi barat dan pencucian otak akibat neoliberalisme dan globalisasi. Di saat negara lain mengandalkan fundamentalisme pasar dan standar hidup global maka Kuba saling mengandalkan komunitasnya masing-masinng. Globalisasi ekonomi dengan mengandalkan sektor industri yang diikuti oleh negara berkembang lainnya seperti Indonesia justru merombak tatanan akar tradisi-budaya bangsa (Steger, 2005: 201-202). Akibatnya terjadi penurunan kualitas kehidupan manusia atau dehumanisasi. Lebih parah lagi deideologisasi. Tradisi milik bangsa luntur dan mengadaptasi nilai-nilai kehidupan barat. Industri akan membuka jalan kapitalisme yang makin memuat negara bergantung terhadap negara lain, bahkan hampir tidak mungkin untuk melepaskan diri. Inilah bentuk kolonialisme baru.

Jika Indonesia bisa berkaca kepada pengalaman Kuba, maka seharusnya negara Indonesia dapat berdiri sendiri. Kuba yang awam dengan pertanian mampu merubah kultur budayanya dengan bersatu bersama alam. Jika masyarakat Indonesia mau untuk melakukan hal yang sama seperti Kuba, menerapkan kemandirian dengan mengandalkan sistem pertanian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan saling membantu sesama masyarakat, maka bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia menjadi merdeka dalam arti sebenarnya.Indonesia telah memiliki modal besar yang sebenarnya tidak dimiliki Kuba. Indonesia adalah negara agraris yang sebagian masyarakatnya sudah terbiasa bercocok tanam. Indonesia juga memiliki tanah yang subur yang dapat ditanami oleh tanaman apapun.

Namun seperti yang dikatakan permakulturis dalam Patricia Allison Organipónico de Alamar, “It’s not the technology, it’s human relationships”. Alam Indonesia memang telah menyediakan, tetapi tidak akan berguna tanpa adanya keinginan dan kerjasama antar manusia yakni masyarakat dan juga pemerintah. Akan sangat sulit mengikuti cara masyarakat Kuba untuk bangkit dari keterpurukan dengan beralih kepada pertanian, karena yang bermasalah di Indonesia adalah human relationship yang juga berarti mind set. Untuk bisa seperti masyarakat Kuba maka orang Indonesia terlebih dahulu harus merubah mind set nya. Jika tidak, maka Indonesia harus mengalami kelangkaan minyak seperti Kuba, baru manusianya bisa menyadari bahwa manusia harus mengikuti irama alam sehingga dapat mengambil manfaat darinya.

Tanda-tanda kehilangan minyak sudah terjadi. Konversi minyak tanah ke gas, pasokan listrik berkurang dengan pemadaman bergiliran, perusahaan minyak Pertamina sudah tidak lagi menemukan sumur minyak baru, harga minyak terus naik. Apakah masyarakat Indonesia harus menunggu samapai benar-benar seperti kehancuran ekonomi di Kuba untuk menyadari pentingnya kekuatan komunitas dan pentingnya kembali ke alam?



Sumber: Film Dokumenter, "The Power of Community: How Cuba Survived Peak Oil"

2 komentar:

M. Alam Nugraha mengatakan...

menyatu dengan alam dan Lingkungan serta Masyarakat menjadi lebih mandiri mmhhh patut dicontoh memang Sosialis... cita-cita besar bung Karno nih tapi sekali lagi kekuasaan yg absolut & sentralistik buat negara ini korup dan mudah untuk diperdaya oleh bangsa lain atau coorporatnya....

eno mengatakan...

Ia...andainya bisa bersatu....

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG