Dua kali saya mendatangi toko buku Gramedia di Grand Indonesia yang mengklaim tempatnya sebagai yang termodern di Asia Tenggara. Untuk menarik minat pembeli mereka menjual seluruh barang kecuali elektronik dengan diskon 30 persen, hingga memakai presiden SBY sebagai teaser grand openingnya.
Tapi sayangnya toko Gramedia ini malah menjadi sebuah pasar. Pasar dimana para pembeli berjubel-jubelan, dan berbagai barang berserakan. Yang terpikir oleh saya, apakah ini menandakan bahwa masyarakat mulai gemar membaca atau hanya perilaku konsumtif lainnya, memanfaatkan momen diskon?
Hari pertama datang, saya kaget karena pintu masuk sudah penuh dengna orang. Tas untuk membawa buku-buku ke kasir pun habis. Antrian di depan kasir luar biasa panjangnya. Suara manusia berbicara sungguh memekakkan telinga. Ditambah lagi jajaran alat musik yang ada di dalamnya seperti drum dan piano, dimainkan secara sadis oleh anak-anak kecil. Petugas-petugas toko yang berkali-kali mengingatkan dan menegur si anak akhirnya hanya bisa pasrah memandang dengna penuh kekesalan.
Untuk menuju rak novel yang ada di paling belakang, saya harus memutar berkali-kali karena tidak bisa lewat, serta melompat agar tidak menginjang buku-buku yang bertebaran di lantai. Rak buku anak-anak pun mendapat "serangan" luar biasa. Anak-anak itu malah saling lempar buku. Sedangkan orang tuanya entah kemana. Saya hampir saya memukul kepala seorang anak kecil dengan buku tebal, karena berlarian dan menabrak orang-orang di sekitar. "Huh..", gumam saya.
Saya pun bertanya-tanya, apa yang orang-orang lakukan disini? Apakah benar mereka bertujuan membeli buku? Atau hanya ikut-ikutan demam diskon? Untungnya pertanyaan itu segera terjawab. Seorang dosen dari Universitas Negeri terkemuka memborong ratusan buku Public Relation.
Saya juga mencuri pembicaraan orang-orang di sekitar. Pembicaraan cerdas mengenai isi buku-buku yang layak untuk dikonsumsi. Well, ternyata mereka memang penggemar buku. Ada juga ABG yang sibuk mengais-ngais mencari novel Twilight yang ternyata sangat laris di buru. Lucunya, saya sempat melihat dua tumpuk novel lanjutan Twilight, New Moon. Namun satu jam setelahnya novel itu habis tak tersisa. Sama halnya dengan novel terakhir Harry Potter yang habis stocknya dan belum datang juga hingga untuk kedua kalinya kemarin saya berkunjung.
Tak luput dari perhatian saya betapa kalutnya para petugas Gramedia, yang sebagian besar baru bekerja. Name tag trainee menunjukan bahwa mereka belum berpengalaman mengurus kehebohan semacam ini. Wajah mereka pucat dan terlihat lelah. Baru membereskan buku di satu rak, rak lain sudah kembali berantakkan. Ketika ditanya, "Mbak...buku tentang ini ada dimana ya?". Si petugas gramedia terlihat bingung dan linglung. Tata letak rak yang kurang efektif dan efisien mun menambah beban berat para petugas.
Saya sendiri sudah 3 jam berputar-putar hanya untuk mencari novel Snow karya Orphan Pamuk. Dan, saya tidak bisa menemukannya, hingga hampir menyerah. Petugas pun tidak tahu kemana mencarinya. Komputer yang disediakan untuk mencari judul buku tidak membantu. Saya pun enggan meneruskan perburuan.
Kemudian saya memutuskan untuk membawa buku belanjaan saya ke kasir. Lagi -lagi antrian panjang sudah menanti. Wow, si petugas kasir tersebut pasti sangat bekerja keras. Sambil berdiri berjam-jam, harus teliti memasukkan angka ke dalam mesin kasir supaya tidak salah, ditambah kesemrawutan dimana-mana dan suara berisik, saya rasa mereka sangat hebat.
Senang rasanya mengetahui diri saya dan masyarakat Indonesia gemar membaca. Mudah-mudahan meskipun tidak ada diskon besar, orang-orang ini tetap kembali untuk membeli buku. Bukan hanya sekedar berburu barang diskon.
Created: December 26, 2008
Tapi sayangnya toko Gramedia ini malah menjadi sebuah pasar. Pasar dimana para pembeli berjubel-jubelan, dan berbagai barang berserakan. Yang terpikir oleh saya, apakah ini menandakan bahwa masyarakat mulai gemar membaca atau hanya perilaku konsumtif lainnya, memanfaatkan momen diskon?
Hari pertama datang, saya kaget karena pintu masuk sudah penuh dengna orang. Tas untuk membawa buku-buku ke kasir pun habis. Antrian di depan kasir luar biasa panjangnya. Suara manusia berbicara sungguh memekakkan telinga. Ditambah lagi jajaran alat musik yang ada di dalamnya seperti drum dan piano, dimainkan secara sadis oleh anak-anak kecil. Petugas-petugas toko yang berkali-kali mengingatkan dan menegur si anak akhirnya hanya bisa pasrah memandang dengna penuh kekesalan.
Untuk menuju rak novel yang ada di paling belakang, saya harus memutar berkali-kali karena tidak bisa lewat, serta melompat agar tidak menginjang buku-buku yang bertebaran di lantai. Rak buku anak-anak pun mendapat "serangan" luar biasa. Anak-anak itu malah saling lempar buku. Sedangkan orang tuanya entah kemana. Saya hampir saya memukul kepala seorang anak kecil dengan buku tebal, karena berlarian dan menabrak orang-orang di sekitar. "Huh..", gumam saya.
Saya pun bertanya-tanya, apa yang orang-orang lakukan disini? Apakah benar mereka bertujuan membeli buku? Atau hanya ikut-ikutan demam diskon? Untungnya pertanyaan itu segera terjawab. Seorang dosen dari Universitas Negeri terkemuka memborong ratusan buku Public Relation.
Saya juga mencuri pembicaraan orang-orang di sekitar. Pembicaraan cerdas mengenai isi buku-buku yang layak untuk dikonsumsi. Well, ternyata mereka memang penggemar buku. Ada juga ABG yang sibuk mengais-ngais mencari novel Twilight yang ternyata sangat laris di buru. Lucunya, saya sempat melihat dua tumpuk novel lanjutan Twilight, New Moon. Namun satu jam setelahnya novel itu habis tak tersisa. Sama halnya dengan novel terakhir Harry Potter yang habis stocknya dan belum datang juga hingga untuk kedua kalinya kemarin saya berkunjung.
Tak luput dari perhatian saya betapa kalutnya para petugas Gramedia, yang sebagian besar baru bekerja. Name tag trainee menunjukan bahwa mereka belum berpengalaman mengurus kehebohan semacam ini. Wajah mereka pucat dan terlihat lelah. Baru membereskan buku di satu rak, rak lain sudah kembali berantakkan. Ketika ditanya, "Mbak...buku tentang ini ada dimana ya?". Si petugas gramedia terlihat bingung dan linglung. Tata letak rak yang kurang efektif dan efisien mun menambah beban berat para petugas.
Saya sendiri sudah 3 jam berputar-putar hanya untuk mencari novel Snow karya Orphan Pamuk. Dan, saya tidak bisa menemukannya, hingga hampir menyerah. Petugas pun tidak tahu kemana mencarinya. Komputer yang disediakan untuk mencari judul buku tidak membantu. Saya pun enggan meneruskan perburuan.
Kemudian saya memutuskan untuk membawa buku belanjaan saya ke kasir. Lagi -lagi antrian panjang sudah menanti. Wow, si petugas kasir tersebut pasti sangat bekerja keras. Sambil berdiri berjam-jam, harus teliti memasukkan angka ke dalam mesin kasir supaya tidak salah, ditambah kesemrawutan dimana-mana dan suara berisik, saya rasa mereka sangat hebat.
Senang rasanya mengetahui diri saya dan masyarakat Indonesia gemar membaca. Mudah-mudahan meskipun tidak ada diskon besar, orang-orang ini tetap kembali untuk membeli buku. Bukan hanya sekedar berburu barang diskon.
Created: December 26, 2008
0 komentar:
Posting Komentar