"Kereta ekonomi mengakhiri perjalanan di stasiun Depok Lama, untuk kembali ke depo karena mengalami kerusakan"
Ini sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi para penumpang kereta ekonomi listrik jurusan Jakarta-Bogor. Kereta terlambat, rangkaian diperpendek atau diturunkan di tengah perjalanan dengan alasan kereta rusak, merupakan seribu alasan yang menandakan betapa penumpang kereta ekonomi yang notabenenya rakyat kecil akan selalu dipinggirkan.
Sabtu, 24 Juli 2010 pukul 20.30, kereta ekonomi yang baik-baik saja tiba-tiba dinyatakan rusak dan harus kembali ke depo. Padahal kereta berjalan lancar-lancar saja. Siapa yang percaya kalau kereta rusak? Tetapi toh penumpang yang telah memberi karcis atau abundemen tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk memaksa PT KAI terus melajukan kereta hingga stasiun tujuan di Bogor. Akhirnya ya harus pasrah dan kembali menunggu sambil terancam makin berdesak-desakan di dalam kereta berikutnya.
Mungkin rencana pergantian kereta ekonomi menjadi AC sedang dilakukan pelan-pelan. Penumpang dibiasakan untuk naik kereta ekonomi yang penuh sesak, karena gerbong pengangkut yang seharusnya 8 diperpendek menjadi 4 saja. Seringkali kereta ekonomi terlambat, atau bahkan dibatalkan perjalanannya. Penumpang terpaksa beralih ke kereta Ekonomi AC yang harganya 2 kali lipat dibanding kereta ekonomi.
Alasan pergantian kereta menurut seorang masinis, karena biaya perawatan kereta ekonomi lebih mahal dan tidak seberapa efektif dalam penghasilan. Padahal kereta ekonomi listrik ini adalah satu-satunya transportasi alternatif bagi rakyat kecil dengan kemampuan finansial terbatas. Disisi lain, memang wajar jika sebuah PT mencari keuntungan dengan mengganti kereta agar penumpang yang biasanya hanya membayar Rp 1000 - Rp 2500 rupiah, jadi membayar Rp 5500 - Rp 11.000.
Namun demikian, bukankah kereta melalui sebuah rel yang membelah jalan dan tanah milik negara? Artinya kereta berjalan di atas ranah publik yang berarti adalah milik rakyat? Atau pemikiran saya ini salah? Dan tanah yang digunakan untuk rel adalah milik sebuah PT? Jika begini maka lain lagi ceritanya.
Tetapi jika memang tanah yang digunakan untuk dilewati jalur kereta memang milik negara, berarti seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Minimal untuk rakyat kecil yang hanya mampu membayar harga karcis kereta ekonomi karena penghasilannya yang pas-pasan.
Ah, saya tidak paham. Yang jelas, kereta ekonomi dan para penumpangnya akan selalu dikorbankan dan diperlakukan seenaknya tanpa tanggung jawab dari si empunya penyedia jasa kereta...
Sekali lagi, saya bernyanyi.."Itulah Indonesia! Indonesia tanah airku..."
Ini sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi para penumpang kereta ekonomi listrik jurusan Jakarta-Bogor. Kereta terlambat, rangkaian diperpendek atau diturunkan di tengah perjalanan dengan alasan kereta rusak, merupakan seribu alasan yang menandakan betapa penumpang kereta ekonomi yang notabenenya rakyat kecil akan selalu dipinggirkan.
Sabtu, 24 Juli 2010 pukul 20.30, kereta ekonomi yang baik-baik saja tiba-tiba dinyatakan rusak dan harus kembali ke depo. Padahal kereta berjalan lancar-lancar saja. Siapa yang percaya kalau kereta rusak? Tetapi toh penumpang yang telah memberi karcis atau abundemen tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk memaksa PT KAI terus melajukan kereta hingga stasiun tujuan di Bogor. Akhirnya ya harus pasrah dan kembali menunggu sambil terancam makin berdesak-desakan di dalam kereta berikutnya.
Mungkin rencana pergantian kereta ekonomi menjadi AC sedang dilakukan pelan-pelan. Penumpang dibiasakan untuk naik kereta ekonomi yang penuh sesak, karena gerbong pengangkut yang seharusnya 8 diperpendek menjadi 4 saja. Seringkali kereta ekonomi terlambat, atau bahkan dibatalkan perjalanannya. Penumpang terpaksa beralih ke kereta Ekonomi AC yang harganya 2 kali lipat dibanding kereta ekonomi.
Alasan pergantian kereta menurut seorang masinis, karena biaya perawatan kereta ekonomi lebih mahal dan tidak seberapa efektif dalam penghasilan. Padahal kereta ekonomi listrik ini adalah satu-satunya transportasi alternatif bagi rakyat kecil dengan kemampuan finansial terbatas. Disisi lain, memang wajar jika sebuah PT mencari keuntungan dengan mengganti kereta agar penumpang yang biasanya hanya membayar Rp 1000 - Rp 2500 rupiah, jadi membayar Rp 5500 - Rp 11.000.
Namun demikian, bukankah kereta melalui sebuah rel yang membelah jalan dan tanah milik negara? Artinya kereta berjalan di atas ranah publik yang berarti adalah milik rakyat? Atau pemikiran saya ini salah? Dan tanah yang digunakan untuk rel adalah milik sebuah PT? Jika begini maka lain lagi ceritanya.
Tetapi jika memang tanah yang digunakan untuk dilewati jalur kereta memang milik negara, berarti seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Minimal untuk rakyat kecil yang hanya mampu membayar harga karcis kereta ekonomi karena penghasilannya yang pas-pasan.
Ah, saya tidak paham. Yang jelas, kereta ekonomi dan para penumpangnya akan selalu dikorbankan dan diperlakukan seenaknya tanpa tanggung jawab dari si empunya penyedia jasa kereta...
Sekali lagi, saya bernyanyi.."Itulah Indonesia! Indonesia tanah airku..."
0 komentar:
Posting Komentar