Senin, 11 Januari 2010

Indonesia Butuh Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Gempa

Gempa bumi berskala 7,6 skala Richter mengguncang beberapa wilayah di Sumatera Barat hari Rabu, 30 September 2009 pada pukul 17.16. Gempa berkekuatan besar ini mengakibatkan bangunan-bangunan runtuh serta jatuhnya korban jiwa.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi berpusat di 0, 84 Lintang Selatan, 99,65 Bujur Timur, dan berada di kedalaman 71 kilometer dari permukaan laut. Pusat gempa berada lebih kurang 57 kilometer barat daya Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Hingga hari Jumat, 9 Oktober 2009, menurut Kompas, korban meninggal dunia mencapai 784 orang, korban hilang berjumlah 242 orang, korban luka berat tercatat 867 orang, dan korban luka ringan bertambah 1.374 orang.

Sementara itu jumlah kerusakan rumah kategori berat 122.884 unit, rusak sedang, 58.277 unit, dan rusak ringan 59.186 unit. Sarana pendidikan yang rusak berat sebanyak 1.385 unit, 989 unit rusak sedang, dan 734 unit rusak ringan. Sarana kesehatan 55 unit rusak berat, 35 unit rusak sedang, dan 35 unit rusak ringan.Gedung perkantoran juga banyak yang rusak. Untuk kerusakan berat tercatat 234 unit, rusak sedang 79 unit, dan rusak ringan 77 unit. Jembatan yang rusak berat sebanyak 17, rusak sedang 28 jembatan dan rusak ringan 4 jembatan.

Enam dari 13 daerah yang terkena dampak bencana telah memberikan taksiran kerugian, yakni sebesar Rp2,181 triliun. Total kerugian diperkirakan Rp4 triliun sampai Rp7 triliun.

Menurut berbagai media massa, seperti Kompas.com, 8 Oktober 2009, penanganan gempa di Sumatera Barat berjalan lambat. Masyarakat di pelosok Padang Pariaman yang merupakan daerah terparah, belum mendapatkan bantuan. Sementara di beberapa daerah lain distribusi bantuan juga tidak merata. Berdasarkan Antara, 6 Oktober 2009 para korban bahkan sampai melakukan penjarahan. Masyarakat Sumatera Barat menilai keterlambatan penanganan gempa adalah akibat dari birokrasi yang berbelit-belit.
Dari catatan data sejarah kegempaan, daerah Sumatera Barat memang sudah beberapa kali mengalami gempa bumi merusak. Sejak 1822 hingga 2009, telah terjadi setidaknya 14 kali gempa bumi kuat dan merusak dan di antaranya menyebabkan tsunami. Sejarah panjang gempa bumi merusak di Sumatera Barat, antara lain, adalah gempa bumi Padang (1822, 1835, 1981, 1991, 2005), gempa bumi Singkarak (1943), gempa bumi Pasaman (1977), dan gempa bumi Agam (2003). Sedangkan gempa bumi yang diikuti gelombang tsunami terjadi di Mentawai (1861) dan Sori-Sori (1904).

Berdasarkan penelitian Daryono SSi, MSi, mahasiswa Program Doktor Ilmu Geografi UGM serta peneliti di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, penyebab gempa bumi di Sumatera Barat adalah zona patahan Sumatera atau yang populer dikenal sebagai Semangko Fault. Semangko Fault merupakan patahan sangat aktif di daratan yang membelah Pulau Sumatera menjadi dua, membentang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, dari Teluk Semangko di Selat Sunda sampai ke wilayah Aceh di utara.
Berdasarkan data sejarah gempa bumi Sumatera, dalam 100 tahun terakhir, sudah sekitar 20 gempa besar dan merusak terjadi di zona patahan ini. Berdasar penelitian, aktivitas gempa bumi di patahan Semangko rata-rata sekitar lima tahun sekali. Meski magnitudo gempa bumi di zona patahan itu relatif kecil, dampaknya bisa sangat berbahaya. Ini disebabkan sumbernya di daratan yang berdekatan dengan kawasan permukiman.

Indonesia memang negara yang rawan gempa sebab berada dalam pertemuan sejumlah lempeng tektonik besar yang aktif bergerak. Daerah rawan gempa tersebut membentang di sepanjang batas lempeng tektonik Australia dengan Asia, lempeng Asia dengan Pasifik dari timur hingga barat Sumatera sampai selatan Jawa, Nusa Tenggara, serta Banda. Kemudian interaksi lempeng India-Australia, Eurasia dan Pasifik yang bertemu di Banda serta pertemuan lempeng Pasifik-Asia di Sulawesi dan Halmahera. Terjadinya gempa juga berkaitan dengan sesar aktif. Di antaranya sesar Sumatera, sesar Palu dan di Papua. Ada juga sesar yang lebih kecil di Jawa seperti sesar Cimandiri, Jawa Barat.

Dari penggambaran masalah tersebut seharusnya pemerintah telah mengupayakan standar operasional prosedur atau SOP untuk mitigasi yakni tindakan preventif guna meminimalisasi dampak negatif bencana yang akan terjadi.

Tindakan mitigasi yang telah terstandarisasi ini nantinya akan sangat membantu, misalnya, pada saat pendistribusian bantuan makanan. Sehingga saat bantuan tiba telah dipersipkan bagian-bagian yang bertugas untuk langsung menyampaikannya kepada masyarakat tanpa melalui birokrasi yang rumit.

Evaluasi skala nasional menyangkut kondisi geologis dan kondisi bangunan-bangunan di setiap wilayah juga harus segera dilaksanakan pemerintah.Untuk mengurangi risiko, Indonesia membutuhkan tata ruang atau bangunan yang sesuai dengan kerawanan bencana gempa. Standar tata ruang tersebut juga dapat dirumuskan dalam undang-undang persyaratan tata ruang dan tata bangunan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG