Rabu, 01 Desember 2010

Saya Orang Kaya

Saya, Aburizal Bakri, dan Gayus Tambunan punya persamaan. Kami adalah orang kaya.
Hidup ini memang tidak adil. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Bagi saya, adalah anugerah saya menjadi orang kaya. Sedangkan bagi orang miskin, ya itu deritanya. Meminjam kata-kata anak jaman sekarang, itu sih DL alias derita lo!

Saya senang menjadi orang kaya di negeri ini. Di negeri ini apapun bisa dibeli dengan uang. Dengan uang, hidup menjadi jauh lebih mudah. Mau beli mobil mewah bisa. Beli perhiasan berlimpah juga mampu. Ingin punya rumah mewah tentu tidak sulit. Kalau hanya urusan pendidikan di Indonesia, itu sih kecil! Pendidikan di Indonesia kan hanya milik orang-orang tertentu, termasuk saya pastinya.

Untuk saya yang orang kaya, tentu saja ingin kuliah di perguruan tinggi terkemuka. Mau perguruan tinggi swasta atau negeri sebenarnya tidak masalah untuk saya. Tetapi kalau saya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri terkemuka, saya punya gengsi lebih. Sudah kaya, dipandang pintar lagi.

Soal tes masuk, itu tidak terlalu sulit. Saya bukan orang kaya yang bodoh. Apalagi saya menulis di berkas pendaftaran bahwa saya mampu membayar sumbangan pendidikan puluhan hingga ratusan juta. Pasti menguntungkan untuk pihak universitas. Saya otomatis jadi pertimbangan untuk pemasukan mereka.

Setelah masuk kuliah, tidak perlulah saya ngoyo untuk mendapat nilai yang terbaik. Saya hanya ingin menikmati hidup sebagai mahasiswa kaya. Yang penting, saya lulus kuliah tepat waktu dan tidak menjadi mahasiswa abadi. Meskipun untuk itu saya harus menempuh skripsi.

 Skripsi oh skripsi. Ini yang membuat saya pusing. Saya pasti malas mengeluarkan tenaga terlalu besar untuk membuat skripsi. Saya tidak berminat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan lewat skripsi. Apalagi, saya punya uang. Ya, uang saya banyak. Jadi saya memutuskan untuk mempermudah hidup saya. Saya bisa menghubungi lembaga yang menyebut dirinya sebagai lembaga konsultan dan bimbingan skripsi. Tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa melakukan bimbingan kalau dengan membayar Rp 1.5 juta hingga Rp 3.5 juta, saya bisa langsung terima jadi. Urusan menghadapi para penguji adalah urusan belakangan. Karena sekali lagi, meskipun kaya, saya tidak bodoh.

Pendidikan adalah bekal masa depan. Bagi saya, masa depan berarti citra saya di mata banyak orang yang bisa mempertahankan kekayaan saya. Oleh karena itu, saya berencana terus melanjutkan jenjang pendidikan S2 hingga S3.

Kalau saya lulus S1 saja dengan membayar, bagaimana nanti bisa masuk ke S2 dan S3? Itu sih gampang. Di UGM saja ada kursus untuk program doktoral. Di sana diadakan program pelatihan program doktor antar bidang.  Saya akan dibantu oleh para dosen di UGM untuk mempersiapkan proposal riset mulai dari penulisan, metodologi dan lain-lain sebagainya. Biayanya cukup murah bagi saya yang orang kaya. Hanya Rp 600 juta untuk 5 tahun. Pesertanya dikabarkan dari kalangan mentri, direktur-direktur perusahaan swasta, hingga direktur-direktur BUMN.

Tapi sayangnya program ini menjadi kontroversi. Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi menyatakan tidak tau-menahu tentang program ini dan telah membentuk panitia untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggara program Gunawan Sumodiningrat yang merupakan profesor dan doktor di bidang ekonomi dari UGM, serta dosen-dosen yang terkait. Ah, tapi ada pepatah yang mengatakan patah tumbuh hilang berganti. Tak apalah program ini tidak ada lagi di UGM. Toh, saya bisa mencarinya di universitas lain nanti. S1, S2, S3 hanya masalah uang. Namun uang tidak menjadi masalah untuk saya. Kan saya orang kaya.
Lihat bukan, begitu mudahnya mencari jalan pintas untuk menempuh pendidikan? Inilah hasil industrialisasi produk otonomi pendidikan. Tidak hanya biaya sekolah yang dinaikkan, tetapi terbukanya berbagai lapangan usaha yang berkaitan dengan pendidikan. Dengan asumsi tidak ada yang tidak mau mengenyam pendidikan, maka pendidikan adalah komodifikasi yang sangat menguntungkan.

Di saat pendidikan sudah menjadi bisnis, maka tidak ada lagi tempat untuk orang-orang miskin. Yang ada adalah orang-orang kaya seperti saya. Di saat pendidikan menjadi bisnis, maka lupakan bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945.   

Sebenarnya industrialisasi pendidikan seperti ini bisa dihindari apabila subsidi pendidikan diperbesar atau justru pendidikan di Indonesia digratiskan. Rasanya mustahil memang. Tetapi hal ini dapat direalisasikan apabila pembayaran pajak dijalankan dengan benar. Sayangnya di negara kita hanya 3 persen yang membayar pajak. Pajak yang hanya sebesar itu saja tetap disunat oleh orang seperti Gayus Tambunan. Sedangkan para pengusaha besar, contohnya Aburizal Bakrie, ngemplang pajak sebesar Rp 2.1 triliun. Bisa dibayangkan berapa besar alokasi pajak untuk subsidi pendidikan jika para pengusaha macam Bakrie memenuhi kewajibannya dan orang-orang seperti Gayus dienyahkan?

Tetapi siapa yang peduli. Saya? Gayus? Bakrie? Kami adalah orang kaya yang bisa melakukan apa saja dengan uang yang kami miliki. Untuk apa memikirkan orang lain jika saya bisa membayar bisnis pendidikan, Aburizal Bakri bisa menghindari pajak, serta Gayus Tambunan bisa seenaknya keluar masuk penjara. Atau Pemerintah? Pemerintah sepertinya sudah senang karena tidak perlu pusing mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mengurusi pendanaan institusi pendidikan.

Jadi tidak ada lagi yang peduli. Pendidikan sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan telah menjadi lahan bisnis yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya. Oleh karenanya, orang kaya semakin kaya. Orang miskin ya akan semakin miskin.

Pada akhirnya negara Indonesia memang negara surga bagi orang kaya seperti saya, sekaligus neraka bagi orang miskin yakni sebagian besar rakyat Indonesia. Saya jadi ingin menyanyikan sedikit lirik lagu wajib nasional, “Itulah Indonesia, Indonesia tanah airku...”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG