Sabtu, 13 Agustus 2011

Tatih Kakek Penjual Tissue

Pernah memperhatikan cara pinguin berjalan? Begitulah gambaran cara seorang kakek tua yang sedang berjalan di stasiun kereta Bojong Gede, Bogor. Dengan susah payah ia mencoba menggerakan kedua kakiknya. Baru 2 meter berjalan, langkahnya terhenti. Ia mencoba menghela nafas, sambil berpegangan ke tiang-tiang penyangga stasiun kereta.

Tatih langkah si kakek tidak membuatnya lelah untuk terus berjalan menjanjakan dagangannya. Satu kantong plastik tissue ia tawarkan kepada para penunggu kerera. 

"Berapa Ki?" Ujar saya. 
"Dua ribu rupiah," jawabnya lirih. 

Di tangan kanannya tergantung kantung jualan. Sementara tangan kirinya yang kaku, dengan kesulitan, mencoba merogoh sebuah tissue hingga akhirnya ia memandang wajah saya. Saya pun paham, dan langsung mengambil sendiri tissue tersebut.

Dengan perasaan iba, saya memberanikan diri untuk bertanya,
"Aki kenapa?"

"Setruk," jawabnya terbata-bata.

"Lho, kok masih kerja? Emang anak-anaknya kemana?" Lanjut saya.
"Kalo nggak kerja mau makan apa. Anak saya masih kecil," terangnya. Dia lalu menegaskan bahwa meskipun keadaan fisiknya sulit, tapi dia tetap bersemangat bekerja untuk menghidupi istri dan anaknya tanpa mau membebani orang lain dan meminta-minta.

"Saya mah nggak mau ngemis. Dosa. Masih hidup gini musti usaha," ucapnya sambil tersenyum. 

Kakek yang tinggal di belakang stasiun Bojong Gede itu kembali berjalan. Menapakkan kaki dengan usahanya yang maksimal. Keadaan fisiknya yang tidak lagi mendukung tidak dijadikan penghalang untuk berjuang mencari sesuap nasi. 
                                                              
                                                                                *****
Lain lagi dengan penjual tissue di stasiun UI. Para mahasiswa UI yang sering melewati stasiun kereta UI pasti pernah melihat kakek ini. Sebelas tahun berlalu, dia tetap menjajakan tissue dari bangku ke bangku. Wajahnya semakin keriput. Tubuhnya kian kurus. Ditambah lagi, kini ia menggunakan tongkat penyangga untuk membantunya berjalan.

Perlahan ia ayunkan tongkatnya, dengan segenap tenaga yang tersisa. "Tissue neng," ujarnya menawarkan pada para penumpang kereta yang mayoritas mahasiswa. Ia masih seperti dulu, ramah jika diajak berbicara.  Anaknya memang sudah besar, tapi ia sendiri tetap harus bekerja untuk bisa menghidupi dirinya dan istrinya. Karena itulah ia tetap menjajakan tissue, satu-satunya pekerjaan yang bisa ia kerjakan pada usianya yang sudah senja. 

Sambil menunggu kereta, ia bercerita bahwa dagangannya sudah memasuki plasik yang kedua. 
"Wah, laris ya pak?"
"Iya, alhamdulilah," katanya sambil tertawa.
"Selalu habis setiap hari pak?"
"Ya kalau saya lagi kuat jalan, terus rejeki emang ada, jualan habis," jawabnya dengan ramah.
"Pak, nggak ada tissue yang gede?" tanya saya
"Kalau jual yang gede nggak laku neng. Males kali ya gede ditaro tas," ujuarnya.

Setelah perbicangan singkat, sambil dirinya beristirahat, si kakek pamit untuk kembali berjualan.


Dua orang kakek ini menunjukkan betapa sebuah perjuangan berat harus dilakukan untuk bertahan hidup. Semangat untuk berusaha memberi makan keluarganya, mampu menentang halangan yang datang menghadang. Pernah saya menceritakan hal ini pada seorang teman. Dengan nada kritis ia menjawab, "Mungkin dulu mudanya dia nggak bisa menyimpan uang atau berusaha dengan baik. Makanya tuanya susah."

Ah, saya tidak mau berprasangka buruk. Mungkin itu benar, bisa juga salah. Namun, nasib orang tidaklah sama. Siapa yang tahu jika kedua kakek tersebut tidak punya modal pada masa mudanya. Modal pendidikan, seperti yang saya dan teman saya miliki. Bagaimanapun masa mudanya, yang saya lihat adalah bagaimana mereka berjuang tanpa kenal lelah sekarang. Mereka tidak mengemis. Mereka berusaha dengan berjualan. Mereka tidak mengeluh karena keluhan tidak menghasilkan uang. Mereka bertindak meskipun sulit. 

Kita yang masih muda seharusnya bisa lebih berjuang, bersemangat, tidak mengeluh. Kita yang "di atas" seharusnya bisa melihat "ke bawah" agar lebih bersyukur terhadap apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Melihat dua kakek ini hati saya tergerak untuk menatap ke depan, berjalan ke atas sambil melihat ke bawah.

"Mari kita berjuang, Kek!"






0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG