Minggu, 06 November 2011

Minum Air Hujan di Pulau Damar

"Maaf ya, cuma tadahan air hujan ini yang bisa saya suguhkan," katanya seraya tersenyum saat menjamu kami.

Sejujurnya, kami belum pernah sekalipun sengaja meminum air hujan. Namun, dahaga yang kami rasakan waktu  itu membuat air hujan menjadi pilihan terbaik daripada meminum air laut. Rasa air hujan ternyata asam dan terasa aneh di lidah. Bau yang tidak dapat kami jelaskan, membuat air hujan tadahan ini makin terasa tidak enak.

"Tiap hari minumnya ginian, Pak?" Tanya kami. "Ya iya. Mau minum apa lagi. Di sini adanya kalau nggak air payau, air laut, ya air hujan. Kalian mau pilih yang mana?" Ujarnya sambil tertawa. Intan Suratno sepertinya amat sangat terbiasa meminum tadahan air hujan setiap hari, selama dua tahun bertugas sebagai penjaga mercusuar, di Pulau Damar atau Pulau Edam, Kepulauan Seribu. Air mineral yang layak minum hanya diterimanya setiap 5 bulan sekali. Itupun hanya 3 kardus air mineral dalam gelas. Sementara bahan panganan lainnya seperti minyak goreng, gula, sirup, kopi, teh, hanya dikirim 3 bulan sekali. Untuk kehidupan sehari-hari, Suratno memesan bahan makanan kepada para nelayan, yang harganya cukup mahal.

Suratno mengaku tidak mempermasalahkan hal ini karena ia sudah lebih dari 30 tahun bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Ditjen Perhubungan Laut dan ditempatkan di pelosok-pelosok tanah air. "Sebenernya sih saya bukan sekali ini saja ditugaskan di Pulau Damar. Dulu sekali pernah, waktu saya masih muda. Terus saya dipindah ke sana ke mari. Dari ujung gunung sampe ujung mercusuar saya pernah," ceritanya bangga,

Pulau Damar bukan pulau berpenduduk. Hanya ada beberapa orang yang tinggal di sana yang merupakan pegawai pemerintah, termasuk Suratno. Suratno adalah orang yang bertanggung jawab atas mercusuar. Setiap hari, Suratno bertugas memastikan lampu mercusuar tetap menyala. 

Lampu mercusuar bisa otomatis menyala menggunakan tenaga surya. Akan tetapi, apabila sedang mengalami kerusakan maka lampu mercusuar harus dinyalakan menggunakan pembangkit tenaga listrik. Untuk menyalakan lampu mercusuar secara manual, maka Suratno harus naik ke atas mercusuar yang berketinggian 17 lantai atau 56 meter.

"Haduh, nafas saya udah abis. Dulu sih ada itu anak-anak mudanya. Tapi kalau disuruh nyalain ke atas, nggak dikerjain. Akhirnya ya saya naik sendiri," cerita Suratno yang kini berusia 57 tahun. Menurut Suratno, kondisi Pulau Damar yang jauh dari mana-mana, sepi, dan serba keterbatasan untuk hidup membuat para pekerja muda banyak yang pergi. "Wah, akhirnya satu-satu pada kabur. Pada nggak kuat," lanjutnya.

Menurut Suratno, setahun sekali Pulau Damar menjadi pulau yang ramai ketika dikunjungi oleh ratusan calon pendeta. Para pendeta ini diharuskan naik ke atas menara mercusuar dan turun menggunakan tali. "Kaya mau disahkan jadi pendeta begitu. Terus harus uji nyali," ujarnya. Sementara hari-hari biasa, Pulau Damar sangat sepi. Terkadang ada nelayan atau turis, atau bahkan ada orang-orang yang datang untuk berdoa di makam yang ada di belakang rumah dinas Suratno. "Kalau lagi nggak rame ya kesepian. Sendirian sih udah biasa. Saya sih nggak takut sendirian di sini. Udah biasa," katanya.

Saat kami berkunjung ke Pulau Damar, hanya ada beberapa orang nelayan yang kami jumpai dan anjing liar yang sesekali menggonggong memecah suara hembusan angin serta gulungan ombak di tepi pantai. Suratno tampak senang ketika kami datang membawa suara berbeda di Pulau Damar yang sepi. "Tahun depan saya nyusul kalian ya. Saya mau tinggal sama istri saya di Jakarta soalnya saya pensiun," ceritanya bahagia.

Segala keterbatasan yang dialami Intan Suratno dalam menjalankan tugasnya, membuat kami membuka mata bahwa ternyata ada pegawai negeri sipil yang patut dihargai. Pengabdian pegawai negeri sipil macam Suratno seperti inilah yang seharusnya menjadi cermin para pegawai negeri sipil lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template designed using TrixTG