Kata birokrasi lebih menjadi konotasi negatif bagi masyarakat di Indonesia ketimbang sebagai organisasi pemerintahan. Birokrasi diidentikan dengan proses kerja bertele-tele, menurut tata aturan, dan mempersulit gerak masyarakat. Hal ini diakibatkan karena penyelewengan fungsi dan peran birokrasi pada masa Orde Baru. Padahal, dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara, birokrasi adalah suatu organisasi pemerintahan yang terdiri sub-sub struktur yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, yang memiliki fungsi, peran, dan wewenang dalam melaksanakan pemerintahan untuk mencapai suatu misi, dan visi serta program yang telah ditetapkan.
Artinya, birokrasi berperan dalam membantu lembaga eksekutif dalam; pembentukan agenda pemerintahan (agenda-formation); pengambilan keputusan (decision making); pemilihan masalah yang telah diformasikan dalam agenda (instrument choice); penerapan kebijakan (policy implementation), manajemen kebijakan (policy management) dan kebijakan pemasaran (policy marketing), evaluasi kebijakan (policy evaluation), serta pengawasan kebijakan (policy monitoring).
Namun peran evaluasi dan pengawasan kebijakan inilah yang sama sekali tidak berjalan pada masa pemerintahan Soeharto. Birokrasi mendapat peranan yang sangat dominan tanpa bisa dikontrol dalam menetapkan kebijakan pembangunan. Akibatnya lahirlah hubungan patrimonial dalam sturktur birokrasi di Indonesia, yang merupakan warisan dari nilai-nilai budaya di masa lalu. Semboyan abdi negara bagi pegawai negeri memiliki arti seperti hubungan pada kerajaan dimana seorang abdi harus menyembah kepada rajanya dan tidak memiliki kekuatan yang berarti. Birokrasi bukannya menjadi pelayan masyarakat seperti seharusnya, tetapi justru menjadi pelayan dari kekuasaan yang ada diatasnya. Mengapa? Karena Orde baru menggunakan birokrasi ini sebagai mesin penggerak dalam menjalankan program-program pembangunan ekonomi yang tanpa hambatan.
Oleh karena itu, partai politik yang dianggap sebagai sumber hambatan dan ketidakstabilan dibatasi kekuasaannya, terutama dalam birokrasi. Salah satunya dengan mengeluarkan Permendagri Nomor 12 Tahun 1969 yang menyebutkan bahwa anggota departemen hanya boleh memberikan loyalitas kepada negara dan bangsa, bahkan melarang mereka untuk masuk parpol dan PP Nomor 6 tahun 1970, yang melarang semua pegawai negri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai dan menuntut adanya loyalitas tunggal (monoloyalitas) terhadap pemerintah.
Dengan monoloyalitas ini pemerintah menjadi lebih mudah menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Birokasi bersama militer dan Golkar kemudian menjadi alat kontrol masyarakat yang sewenang-wenang. Golkar dan birokrasi menjadi alat untuk mengumpulkan elit potensial sementara birokrasi bersama ABRI juga digunakan untuk mengawasi kegiantan masyarakat yang harus tuntuk kepada kebijakan Orde Baru.
Birokrasi dengan Korpri yang harus masuk Golkar mendapat jatah yang besar dalam pemerintahan. ABRI pun juga mendapat kursi gratis dengan ditujuk oleh pemerintah. Begitu besarnya kekuatan Orde Baru karena dukungan dari birokrasi, Golkar serta militer, sehingga dengan sendirinya fungsi pengawasan kebijakan dan evaluasi kebijakan pemerintahan tidak mungkin dilakukan. Setiap orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintahan kemudian disingkirkan. Kondisi birokrasi ini adalah “Jaksonisasi” yakni mengakumulasikan kekuasaan negara melalui birokrasi, dan menyingkirkan kekuatan politik di luar birokrasi dari kekuasaan dan proses politik.
Kesewenang-wenangan birokrasi di masa Orde Baru berakibat munculnya praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tanpa pengawasan, birokrasi tidak hanya melakukan korupsi APBD milik rakyat tetapi juga melakukan pemerasan. Bukan rahasia lagi pada masa Orde Baru, untuk mengurus KTP, SIM, Paspor, surat tanah, dan berbagai dokumentasi resmi lainnya serta pereizinan, dipungut biaya tidak resmi. Mulai dari birokrasi tertinggi yakni departemen hingga level paling bawah yakni RT/ RW.
Kolusi yakni kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain dan masyarakat juga menjadi hal yang lumrah. Pembukaan hutan untuk kepentingan swasta yang mendapat izin dari pemerintah, dengan imbalan dari pihak swasta terjadi dimana-mana sehingga merusak alam Indonesia. Musim haji pun dimanfaatkan oleh pemerintah bersama dengan agen untuk mempermainkan kuota, misalnya dengan mendahulukan mereka yang mau membayar lebih besar dan memberi uang pelicin kepada pemerintah.
Disamping itu, nepotisme yaitu tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarga atau kroni di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara juga sangat mengakar. Untuk menjadi bagian dari birokrasi misalnya, diperlukan orang dalam atau harus membayar uang dalam jumlah besar. Karenanya, para birokrat ini pun pada akhirnya akan berusaha mendapat lebih dengan cara melakukan korupsi dan korupsi. Ketiga praktek ini bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk diputus.
Oleh karena itu pasca Orde Baru sekarang ini diharapkan akan tercipta reformasi birokrasi yang ideal sesuai dengan “Weberisasi” yakni membangun demokrasi yang efisien, impersonal, rasional, berorientasi pada public service, dan non partisan atau berdasarkan prinsip netralitas birokrasi, dan profesional.
0 komentar:
Posting Komentar